Eksistensi(Al-Juwaniyyah)individual masih bersemayam pada benak pemikiran, belum mengindahkan eksistensi sosial dengan basis fakta dan realitas, Apatisme dengan segala hal Duniawi, rasa humanisme itu tumbuh ketika suatu tindakan berbasiskan kemanusian bukan bertumpu pada imbalan atau pahala. Percakapan tentang ketauhidan hanya sampai pada hal-hal metafisik, Tauhid bukan fakta, realitas serta gagasan, melainkan sebuah proses kesadaran manusia bahwasanya hanya ada satu ada (monoisme), dan pada faktanya realitas masyarakat yang kian rasional kian meninggalkan hal-hal adikodrati mengutip perkataan Nietzsche tentang kedatangan nihilisme: ‘’ kedatangan nihilisme diprakarsai oleh kecenderungan orang yang sering kali memutlakan nilai-nilai moral yang berkembang dalam sejarah, Orang-orang kini lebih menuhankan suara hati, rasio, naluri sosial, dan sejarah’’, kata nietzsche.’’ Maka perlu diadakan Transvaluasi nilai, imbuhnya. Penggalan kata kata aformise diatas yang menjadi PR besar ummat Islam di Dunia, maka, dengan sebuah gagasan yang dilontarkan Hassan Hanafi, yaitu Epistemologi Oksidentialisme, dengan proyeksi At-Turast Wa At-Tajdid (tradisi dan modernitas) dengan berbasis pada Al-Quran dan yuridis lainnya yang mengikat pada islam, karena pada dasarnya Firman Allah Swt,di turunkan atas subjektivitas komunal maupun personal, dengan dalil sesuatu itu merujuk pada perbuatan yang tidak berperi kemanusiaan dan keadilan, Eksistensi (Al-Juwaniyyah) manusia merupakan sumber kelahiran sebuah dalil dalam agama, dari uraian diatas itulah perlu diadakanya Rekonsiliasi atas teks-teks lama dan mendialogkan dengan silogisme atau analogi (Qiyas) melalui penyelidikan-eksploratif (Usul Fiqh), mendeskripsikan praksis-praksis pseudo-morfologi linguistik.
Dalam hal ini manusia dipandang sebagai pusat kesadaran. Tangkapan data dalam pemikiran berdasarkan Fenomologi realitas, data merupakan praksis manusia. Kita harus menerima segala konsukuensi kehidupan sebagai Khalifah Fil Ardi dengan kesadaran eksistensialisme, memindahkan dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, dengan hal ini manusia dengan penuh kesadaran dituntut untuk berfikir tentang kesadaran atas realitas untuk memekarkan bunga ketauhidan dalam bingkai humanisme, seperti yang diungkapkan diatas bahwasanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mempengaruhi pemikiran melahirkan nihilisme radikal, orang-orang kian bosan dengan nilai-nilai dogmatis yang bersifat konservatif dan irasional. Ditambah lagi realitas objektif penganut islam yang terdegradasi padahal, peradaban islam dibawah imperium islam menyumbang pemikiran jauh sebelum kaum orientalis mendikte ummat.
Proyeksi Antroposentrisme yang mendialogkan At-Turast wa At-Tajdid dari idealisme abstrak menuju realitas konkret, supaya orang menerima konsekuensi hidup, dan berani berkata pada hidupnya ‘’Ya’’ Ubermench,kata Zarathustra, guru Nietzsche. Ketauhidan terus berproses, seiring realitas-subjektif bertumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, nihilisme radikal di obati oleh kedalaman realitas (intuisi) dan ubermench. Selaras dengan adagium kaum pergerakan ‘’ merawat tradisi, merespon modernisasi’. Bersama membumikan ketauhidan sebagai Rahmatan lil A’lamin.
Akmal Maulana.
DAFTAR PUSTAKA:
Sunardi, st, Nietzsche, Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 1996.
0 Komentar