Oleh: Akmal Maulana (Ketua UKM Literasi n- Ach, Mahasiswa Semester III)





Hallo kawan-kawan literat! teman-teman n- Ach Sekolah Tinggi Agama Islam Pangeran Dharma Kusuma Indramayu, kali ini, kami menyuguhkan pembahasan filosofikal tentang awal mula terbentuknya kebenaran pengetahuan ilmiah dengan dikaji secara pragmatikal, EPISTEMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM, dengan menggunakan metode kualitatif dengan basis data meliputi buku-buku tentang Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam juga buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan isu yang dibahas pada artikel kali ini, data yang telah dihimpun dengan pendekatan studi kepustakaan (library research) kemudian ditelaah dengan teknik analisis isi, sehingga penulis kiranya memenuhi syarat bahwa hal yang telah dituliskan bermuatan Ilmiah dan Rasional.

Selamat membaca.......!

2.1 Pengertian Filsafat

pengertian filsafat/ philosopy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia, yang terdiri dari dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada ) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orang yang berfilsafat di sebut filosof.[1]

Filsafat jika ditelisik lebih mendalam dan radikal, ia adalah suatu percakapan mendasar tentang sesuatu yang menjadi pokok bahasan.

Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:

A.        Plato (427-348 SM) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang ingin mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles (384-322 SM) : Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki tentang segala yang ada. Filsafat juga merupakan ilmu pengetahuan meliputi kebenaran yang terkandung di dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retetorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.[2]

B.        Francis Bacon (1561-1626 M) : Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya[3].

C.        Bertrand Russel (1872-1970 M) : Filsafat adalah alat untuk mengkritisi ilmu pengetahuan untuk menghindari ketidak selarasan pada asas ilmu tersebut.[4]

D.        Al-Kindi (801-881 M), filosof muslim pertama: Filsafat adalah karya pamungkas manusia yang paling mulia untuk mengetahui hakikat segala sesuatu.[5]

E.        Al-Farabi (870-950 M) : Filsafat adalah ilmu tentang semua yang ada (al-mawjudat) dan dengan apa dia ada. Filsafat meliputi permasalahan ketuhanan, fisika. Matematika dan logika.[6]

F.        Ibnu Sina (980-1037 M) : Filsafat adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat dapat dikelompokkan kepada al-Nazari (teoritis) dan al-Amaliyah (praktis)[7]

G.       Ibnu Rusyd  (1126-1198 M) : Filsafat atau hikmah adalah ilmu mempelajari semua yang ada (maujudat) dan merenungkannya sebagai suatu bukti tentang adanya pencipta.[8]

Dari paparan tokoh-tokoh diatas, penulis menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh diatas bahwa dasaran tantang percakapan filsafat adalah sesuatu yang ada dengan dasaran berfikir, dan tentu manusia berfikir, akan tetapi dalam filsafat memerlukan sesuatu yang radikal dan mendasar juga komprehensif sesuai tabulasi yang ada, dengan tujuan kebijaksanaan juga diterima oleh akal manusia lainya.

 

2.2 Pengertian Pendidikan

            Dalam Penjelasan tentang definisi pendidikan, kali ini penyusun mencoba membuat argumentasi dengan melihat situasi dan kondisi sehingga menghasilkan dua definisi Pendidikan yang akan dimuat sebagai berikut:

a.         Pendidikan adalah lembaga atau instansi yang terorganisir oleh sekelempok orang atau individu, dengan pencapaian yang telah tertabulasi dengan segenap syarat administratif hingga tahap implementatif (teknis).

b.         Pendidikan adalah usaha sadar dan terarah, guna memperdayakan segenap potensi dari masyarakat lembaga atau instansi, juga pengembangan kesadaran terhadap eksistensi luar melalui tranfer modeling.

Adapun pengertian Pendidikan yang terejawantahkan Dalam pasal 1 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

‘’Pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.’’[9]

2.3 Pengertian Islam

Menurut Harun Nasution (1979) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam adalah agama yang seluruh ajarannya bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hadits adalah perkataan, perbuatan atau persetujuan Nabi atas perkataan/ perbuatan sahabat (taqrir). Al-Qur’an dan Al-Hadits diturunkan Allah, dalam rangka mengatur dan menuntun kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia dan dengan alam semesta.[10]

2.4 Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Berdasarkan pemikiran dan bahasan Sebelumnya, penggabungan Kata ‘’Filsafat Pendidikan, dan Islam’’. Penyusun mencoba merasionalisasi ketiga hal yang sudah kami susun sebelumnya, Adapun pengertian Filsafat Pendidikan Islam adalah sebagai berikut;

a.         Aktivitas Berfikir secara radikal dan menyeluruh, mengkaji isi/ kandungan, makna dan nilai-nilai dalam Al Qur’an dan/atau AlHadits sebagai sumber utama juga sumber hukum dan aktivitas berfikir yang senada denganya, dalam konteks realitas objektif serta Komprehensif dengan mempertimbangkan aspek keilmuan.

Selanjutnya Penyusun menyajikan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian filsafat pendidikan Islam sebagai yang dirangkum sebagai berikut: 

a.         Menurut Zuhairini, dkk (1995) filsafat pendidikan Islam adalah studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran filasafat dalam Islam terdapat masalah-masalah kependidikan dan begaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat Islam. Selain itu filsafat pendidikan Islam mereka mengartikan pula sebagai penggunaan dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam yang selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat Islam.[11]

b.         Abuddin Nata (1997) mendefinisikan filsafat pendidikan Islam sebagai suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya para filosof Muslim sebagai sumber sekunder. Selain itu, filsafat pendidikan Islam dikatakan Abuddin Nata suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia. (anak didik), guru, kurikulum, metode dan lingkungan dengan menggunakan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai dasar acuannya.[12]

c.         Menurut Maragustam (2014) filsafat pendidikan Islam ialah pemikiran-pemikiran filosufis yang sistimatis dan radikal, yang diambil dari: 1) Sistem filsafat, yaitu pemikiran dari para filosuf di bidang pendidikan, dijadikan pedoman untuk memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan Islam, 2) Jawaban filosofis terhadap masalah pendidikan, yang dapat dijadikan pedoman bagi proses pendidikan yang didasarkan ajaran Islam. [13]

2.5 Epistemologi Filsafat Ilmu

Secara etimologis, “epistemologi” berasal dari kata Yunani episteme (yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan) dan logos (yang juga berarti pengetahuan).[14] Dari pengertian dua kata ini dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan, yaitu bermaksud membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Sementara itu, ada juga yang menyebut epistemologi sebagai filsafat ilmu. Karena itu, epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri, yaitu sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan.[15] Sementara itu, Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa epistemologi pada hakikatnya berusaha membahas tentang pengetahuan, yaitu yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperolehnya.[16] Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode dan sumber untuk mendapatkan pengetahuan itu.

Setiap ilmu pengetahuan, dilihat dari sudut filsafat ilmu, memiliki tiang-tiang penyangga yang memperkuat eksistensinya. Tiang penyangga ilmu terdiri dari tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Menanggapi wilayah filsafat ilmu pengetahuan ini, Mujamil Qomar menyatakan bahwa ketiganya sering diperlakukan berbeda, dalam segi penekanannya. Tradisi intelektual Yunani, misalnya, lebih menekankan pada aspek ontologi sehingga wacana-wacana yang muncul di kalangan filsuf Yunani lebih ditekankan pada diskusi mengenai kebenaran substantif dari segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas indrawi. Tradisi ontologis ini kemudian melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber pada metode spekulatif, terutama filsafat. Sementara tradisi intelektual Barat secara tajam lebih memfokuskan diri pada wilayah epistemologi. Filsafat ilmu pengetahuan Barat lebih menekankan pada aspek proses, yaitu bagaimana sebuah kebenaran ilmu dibangun sehingga proses ini melahirkan kebenaran epistemologik .

Adapun ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam lebih menekankan pada aspek aksiologi sebagai basis dalam mengonstruksi fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu dan sistem nilai. Dalam Islam, ilmu adalah fungsionalisasi wahyu, yang merupakan hasil dialog antara ilmuwan realitas ilmiah yang diarahkan oleh wahyu . Dengan demikian, Islam tidak mengenal science for science sebagaimana di dalam tradisi keilmuan Barat, tapi Islam menghendaki adanya keterlibatan moralitas dalam pencarian kebenaran ilmu.[17]
Setiap ilmu pengetahuan, dilihat dari sudut filsafat ilmu, memiliki tiang-tiang penyangga yang memperkuat eksistensinya. Tiang penyangga ilmu terdiri dari tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Menanggapi wilayah filsafat ilmu pengetahuan ini, Mujamil Qomar menyatakan bahwa ketiganya sering diperlakukan berbeda, dalam segi penekanannya. Tradisi intelektual Yunani, misalnya, lebih menekankan pada aspek ontologi sehingga wacana-wacana yang muncul di kalangan filsuf Yunani lebih ditekankan pada diskusi mengenai kebenaran substantif dari segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas indrawi. Tradisi ontologis ini kemudian melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang bersumber pada metode spekulatif, terutama filsafat. Sementara tradisi intelektual Barat secara tajam lebih memfokuskan diri pada wilayah epistemologi. Filsafat ilmu pengetahuan Barat lebih menekankan pada aspek proses, yaitu bagaimana sebuah kebenaran ilmu dibangun sehingga proses ini melahirkan kebenaran epistemologik .

Dengan demikian, penyusun mencoba Kembali merasionalisasi atas argumentasi logis yang disusun dengan sistematis diatas, dan bisa diambil artian sebagai berikut;

a. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah   filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.

b. Epistomologi membahas tentang terjadinnya asal-usul pengetahuan, sumber pengetahuan,  metode atau cara memperoleh pengetahuan dan kevalidan pengetahuan.

c. Setelah epistemologi mengitari bahasan filosofikal (point a) muncul sebuah kebenaran dari suatu pengetahuan.

d. setelah mengetahui suatu kebenaran pengetahuan (point c) muncul sebuah batasan kebenaran epistemologik.

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil?

Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya.

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini, melakukan abstraksi tentang ‘mahasiswa’, misalnya kegiatan berpikir untuk mengungkap apa substansi dari mahasiswa itu, Menurut ukuran sepuluh kategori Aristoteles, mahasiswa adalah manusia dewasa yang menurut sifatnya berpikir kritis, berpenampilan penuh selidik hidup di dalam komunitas kampus, dengan tanggung jawab belajar, selama kurun waktu tertentu serta selalu berada di dalam budaya berpikir, bersikap, dan berperilaku inovatif. Namun, apakah ketika mereka melakukan aktivitas di luar kampus, substansi, atau jati dirinya sebagai mahasiswa tetap berfungsi? Jika ‘kampus’ dipahami sebagai suatu tempat, substansi kemahasiswaan berubah menjadi komponen sosial lain.

Namun, jika kampus dipahami sebagai suatu sistem dinamika sosial, kehadiran mahasiswa dengan jati dirinya justru ditunggu oleh masyarakat luas luar kampus.

Jadi, substansi atau jati diri ‘mahasiswa’ bisa berada di dalam kegiatan apa pun, berlangsung di mana, dan kapan pun, di dalam kehidupan sosial seluas-luasnya, tidak terikat sebatas sosialitas kampus.

Pemikiran filosofi menjadi Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang sedang dihadapinya.

2.6 Sumber Epistemologi

Dalam kajian epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bersumber dari lima sumber pokok, yaitu indra, akal, intuisi, ilham, dan wahyu. Tiga sumber terakhir, yaitu intuisi, ilham, dan wahyu, sekalipun secara tajam dibedakan, tetapi bisa saja intuisi dan ilham secara substantif merupakan “wahyu” dalam pengertian yang lebih luas sebab, baik intuisi maupun ilham merupakan pemberian dari kekuatan spiritual.[18] Selain wahyu (dan juga ilham dan intuisi) sebagai sumber pengetahuan tertinggi dalam discourse islam. Akal juga berperan dalam menentukan sebuah pengetahuan islam, terbukti dalam Firman yang telah diwahyukan ataupun hadits yang telah diriwayatkan, banyak firmannya dan hadits yang menyinggung perkara akal manusia.

2.7 Tiga Ranah Kebenaran Filsafat Pendidikan Islam

            Melalui ketiga sumber pengetahuan di atas, Islam memunculkan tiga ranah kebenaran ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang bersumber pada wahyu menghasilkan kebenaran absolut (haqq al-yaqîn), pengetahuan yang bersumber pada rasio menghasilkan kebenaran yang disebut kebenaran rasionalisme (’ilm al-yaqîn), dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada indra mengahasilkan kebenaran empirisme (’ain al-yaqîn). Kebenaran haqq al-yaqîn lebih berkaitan dengan pengetahuan tentang nilai (values) yang diperoleh melalui wahyu (dan intuisi), kebenaran ’ilm al-yaqîn berkaitan dengan pengetahuan tentang ide yang diperoleh melalui kesimpulan rasional, dan kebenaran ’ain al-yaqîn berkaitan dengan pengetahuan tentang fakta (facts) yang diperoleh melalui persepsi atau observasi.[19]

Dalam sejarah panjang kebudayaan islam, kebenaran yang disokong oleh mapanya sumber-sumber pengetahuan islam seperti yang dipaparkan diatas, kebenaranya pun bertambah seiring kebudayaaan itu berkembang, pada era kontemporer ini, kebenaran islam itu berasal dari sesuatu yang absolut (wahyu), juga disandarkan pada akal manusia (Rasio kemudian disebut Rasionalisme), juga disandarkan pada pengindraan ( pengalaman yang kemudian disebut Empirisme), juga disandarkan pada nilai-nilai  keyakinan tentang kebenaran (iman).

2.8 Aliran atau Kelompok dalam Islam Secara Epistemologi

            Filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah ilmu secara epistemologis sepatutnya mempertanyakan dan menghendaki sumber-sumber mana saja yang menjadi dasar pembenar suatu objek ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebelum pembahasan ini dimulai, ada baiknya penulis kemukakan pandangan Abudin Nata yang menyebutkan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan yang bercorak liberal, bebas, dan tanpa batas etika, sebagaimana dijumpai pada filsafat pendidikan pada umumnya. Filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam dan atau dijiwai oleh ajaran Islam.[20]

Filsafat pendidikan Islam berdasarkan ajaran Islam artinya sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah senantiasa dijadikan landasan bagi filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam berdasarkan ajaran yang dijiwai Islam, artinya selain Al-Quran dan Al-Sunnah, filsafat pendidikan Islam juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan, atau tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Dalam konteks ini, ’Abdurrahmân Shâlih ‘Abdullâh menyebutkan bahwa para pakar filsafat pendidikan Islam terbagi ke dalam dua kelompok. Yaitu:

Pertama adalah mereka yang mengadopsi konsep-konsep non-Islam dan memadukannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam berdasarkan ajaran Islam artinya sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah senantiasa dijadikan landasan bagi filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam berdasarkan ajaran yang dijiwai Islam, artinya selain Al-Quran dan Al-Sunnah, filsafat pendidikan Islam juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan, atau tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Dalam konteks ini, ’Abdurrahmân Shâlih ‘Abdullâh menyebutkan bahwa para pakar filsafat pendidikan Islam terbagi ke dalam dua kelompok.
Yaitu:

Kedua adalah mereka yang tergolong kelompok filsafat pendidikan Islam Tradisional, yang senantiasa mengambil pandangan Al-Quran dan Al-Sunnah tentang pendidikan Islam.[21]

Pendapat ketiga diprakarsai oleh penulis,

Ketiga adalah kelompok Progresif, yang senantiasa mengambil premis-premisnya berasal dari Al-Quran dan Al-Sunnah, dan juga mengambil konsep-konsep diluar Islam yang masih senada dengan spirit perjuangan Islam yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islaman yang fundamental.



[

1]Amin, Saidul. 2015. Filsafat Feminisme: Studi Kritis Terhadap Gerakan Pembaharuan Perempuan, Pekanbaru: Asa Riau, hal. 2.

[2]Bakri, Hasbullah. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Widjaya, hal. 9

[3]Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, hal. 63.

[4]Ibid., hal. 64

[5]Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1962. Ma’ani al-Falsafah, Kairo : Maktabah al- Tsaqafiyah, hal. 42 

[6]al-Farabi. 1959.  al-Jam’u Bayna Ra’yi al-Hakimayn. Beirut : Tahkik al-Bir Nasri Nadir, hal. 86 

[7]Sina, Ibn. 1938. Kitab al-Najah, Kairo : Maktabah al-Mustafa al-Babi al-Halabi, J. 1, h. 2-3. 

[8]Rusyd,Ibn. 1972  Fasl wa al-Maql wa Taqrir ma Bayin al-Syariah wa al-Hikmah al-Ittisal. Tahkik Muhammad Imarat, Kairo : Dar al-Ma’arif,  hal. 22

[9]Pemerintah Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No 2 Tahun1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional . Lembaran RI Tahun 2003, No. 20. Jakarta.

[10]Nasution, Harun. 1971.  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, Hal. 12

 

[11] Syar’i, Ahmad. 2020. Filsafat Pendidikan Islam, Kalimantan Tengah: Narasi Nata, hal. 10.

[12] Ibid., hal 10-11.

[13] Ibid., hal. 11.

[14] Amin, Saidul. Op.Cit, hal. 16.

[15]Azizy, Qodry. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi

Agama Islam Departemen Agama RI, hlm. 2.

[16] Bakhtiar, Amsal. 1999, Filsafat Agama Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm. 37.

[17]Mujamil, Qomar. 2007. Episemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode

 Kritik Cet. III; Jakarta: Erlangga, hlm. 32-33.

[18] Ibid., hlm. 110.

[19]Sharif, MM.1976. Islamic and Educational Studies Edisi II; Lahore: Muhammad Ashraf Darr, hlm. 26.

[20]Nata, Abudin. 1997.  Filsafat Pendidikan Islam Cet. I; Jakarta: Logos, hlm. 15.

[21]Abdullah, Shalih, Abdurrahman. Educational Theory: A Qur’anic Outlook Makkah Al-Mukarramah: Umm al-Qura University, t.th., hlm. 35-36.

DAFTAR PUSTAKA

'Abdullah, Shalih. Abdurrahman. (t.thn.). Educational Theory: A Qur'anic Outlook. Makkah Al-Mukarramah: Umm al-Qura University.

Al-Ahwani, Ahmad. Fuad. (1962). Ma'ani al-Falsafah. Kairo: Maktabah al- Tsaqafiyah.

al-Farabi. (1959). al-Jam'u Bayna Ra'yi al-Hakamayn. Beirut: Tahkik al-Bir Nasri Nadir.

Amin, Saidul. 2015. Filsafat Feminisme: Studi Kritis Terhadap Gerakan Pembaharuan

Perempuan, Pekanbaru: Asa Riau.

Azizy, Qodry. (2003). Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.

Bakhtiar, Amsal. (1999). Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Pemerintah Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No 2 Tahun1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional . Lembaran RI Tahun 2003, No. 20. Jakarta.

Mujamil, Qomar. (2007). Epistemologi Pendidikan Islam : Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Cet. III ; Jakarta: Erlangga.

Nasution, Harun. (1971). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Bulan Bintang.

Nata, Abudin. (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.

Rusyd, Ibn. (1972). Fasl wa al-Maql wa Taqrir ma Bayin al-Syariah wa al-Hikmah al-Ittisal . Kairo: Dar al-Ma'arif.

Sharif, MM. (1976). Islamic and Educational Studies. Lahore: Muhammad Ashraf Darr.

Sina, Ibn. (1938). Kitab al-Najah. Kairo: Maktabah al-Mustafa al-Babi al-Halabi.

Supartono, Suparlan. (2005). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Syar'i, Ahnad. (2020). Filsafat Pendidikan Islam. Kalimantan Tengah: Narasi Nata.